MANUSIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
Dalam hal ini,
para tokoh filsafat berbeda pendapat dalam mendefinisikan manusia. Di antaranya
yakni:
1) Aristoteles menyatakan bahwa:
“Manusia
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan
yang berpolitik (zoon political animal), hewan yang berfamili dan
bermasyarakat, mempunyai kampung halaman dan negara”.
Aristoteles
mengidentifikasi sejumlah kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh hewan;
manusia berakal, berbicara, berpolitik, berkeluarga, bermasyarakat. Kemampuan
berpolitik dimungkinkan karena manusia mempunyai bahasa yang di dalamnya dapat
diungkap simbol-simbol.
2) William Ernest Hichking
menyatakan:
“Manusia
adalah hewan yang ketawa. Manusia adalah hewan yang menggambarkan lukisan.
Manusia adalah hewan yang sadar diri. Manusia adalah hewan yang dapat merasa
malu, sementara tidak ada makhluk lain yang memperhatikan tanda-tanda pembelaan
untuk proses naturalnya”.
3) Prof. R.F. Beerling
secara singkat mengemukakan keunggulan khas manusia yang tidak mungkin dimiliki
hewan, “manusia adalah tukang bertanya”.[1]
4) Sartre mengemukakan lebih
tegas dari itu bahwa “Kesadaran manusia adalah bersifat bertanya yang
sebenar-benarnya”. Bertanya memang merupakan keunggulan istimewa bagi makhluk
manusia.
5) Para
sarjana muslim pada zaman pra Eropa tercerahkan oleh filsafat Yunani, Ibnu
Sina yang mengemukakan bahwa:
“Tujuh
‘Kesanggupan’ Makhluk, yaitu (1) makan, (2) tumbuh, (3) berkembang biak, (4)
pengamatan hal-hal yang istimewa, (5) bergerak di bawah kekuasaan (6) tahu
mengenai hal-hal umum, dan (7) berkehendak dan memilih dengan bebas.
Tumbuh-tumbuhan memiliki kesanggupan 1, 2, dan 3. Hewan mempunyai kesanggupan
1, 2, 3, 4, dan 5. Adapun manusia mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7.
Yang dimaksudkan dengan tahu pada angka 6 di atas ialah segala yang kita
ketahui, yang berbeda dari pengetahuan”.
6) Seorang
ulama’ dan pemikir muslim berkebagsaan Iran, Murtadha Muthahhari dengan
pijakan al-Qur’an telah memformulasikan sisi positif manusia.
“Manusia
adalah khalifah Tuhan di Bumi, manusia merupakan makhluk yang mempunyai
inteligensi yang paling tinggi, manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan
Tuhan, manusia memiliki kesadaran moral, jiwa manusia tidak akan pernah damai
kecuali dengan mengingat Allah, dan manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh
motivasi duniawi saja.”
Yang
menarik, Murtadha Muthahhari tidak sekedar memotret manusia berdasarkan
potensi dan kelebihan yang dimilikinya. Dengan tetap mengacu pada pendekatan
Islam, beliau juga mengemukakan berbagai aspek yang menjadi kelemahan,
kekurangan manusia. Segi negatif tersebut dapat diketahui dari al-Qur’an antara
lain: “Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (QS. 33: 72), “...
manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat” (QS. 22: 66), “... manusia
adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS. 18: 54), dan terdapat dalam
QS. 70: 19-21,[2]
Manusia
menjadi “manusia” kalau dia mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan. Lalu,
apakah dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya manusia merupakan
makhluk yang bersifat ganda.
Manusia dalam
pengertian yang ada dalam dirinya terdapat unsur positif sekaligus negatif,
memang tepat untuk disebut sebagai makhluk ganda atau monodualis. Dengan segala
potensi keunggulan, kelebihan yang ada padanya, manusia dapat mencapai derajat
kemanusiaan paling tinggi. Sebaliknya, dengan segala potensi negatif, kelemahan
yang ada padanya, manusia juga dapat turun ke tingkat kemanusiaan terendah,
bahkan bisa jadi lebih rendah dibanding hewan. Berbeda dengan makhluk hewan
yang sejak dari mula menjadi hewan dan akan tetap menjadi hewan. Artinya,
potensi positif dan negatifnya tak lebih dan tak kurang dalam batasan hewan.[3]
Terimakasih ukhti telah mau berbagi.
BalasHapusMaaf ukhti Ana Maqfy. Ane belum terlalu paham tentang pernyataan William Ernest Hichking, bahwa Manusia adalah hewan yang menggambarkan lukisan.
Mohon penjelasannya.